Tahun 2024 jadi tahun perubahan drastis dalam perilaku konsumen dalam shopping belanja online. Banyak aplikasi belanja online yang menggabungkan dunia maya dan realita melalui fitur live shopping. Meskipun belum digandrungi di seluruh penjuru dunia, kemudahan live shopping terlihat sudah menjadi bagian kehidupan penggunanya di salah satu bagian dunia, sedangkan yang lainnya masih perlu beradaptasi dengan live shopping.
Sebut saja, di Asia dan negara Barat. Artikel ini akan membahas perbedaan perkembangan live streaming shopping di kedua negara bagian, mulai dari bagaimana live shopping jadi favorit masyarakatnya.
Apa Itu Live Shopping?
Ketika membahas kesuksesan live shopping, perlu untuk diketahui asal dari fitur tersebut. Live shopping, atau live commerce, pertama kali diperkenalkan di Cina pada tahun 2016 dengan fitur Taobao Live dari Alibaba yang mengubah sistem toko belanja online di Cina.
Singkatnya, live shopping adalah kegiatan belanja online yang dibuat lebih interaktif. Para calon pembeli bisa berinteraksi dengan host untuk bertanya mengenai produk secara langsung. Transparansi dari interaksi langsung ini menjadi kelebihan unggulan dari live shopping, karena dapat menghindari misinformasi dan mampu memberikan audiens gambaran yang lebih jelas mengenai produknya.
Keunggulan lainnya dari live shopping adalah integrasinya yang sangat baik dengan aplikasi belanja online—atau bahkan media sosial. Banyak fitur live shopping yang menjadi media all-in-one untuk sebuah proses pembelanjaan, mulai dari pencarian barang, diskusi langsung, hingga transaksi hanya dengan satu klik saja.
Live Shopping Mulai Jadi Dominan di Asia
Tidak diragukan lagi, Cina jadi pemegang pasar terbesar untuk live shopping, mencapai $678 miliar nilai pasar di 2023 dan diprediksi meningkat hingga $1 triliyun di tahun 2026, menurut Statista. Salah satu influencer terkenal di Cina, Viya, bahkan berhasil menjual jasa rocket launch senilai $6.3 juta di tahun 2021 dalam salah satu sesi live shopping. Hal ini membuktikan daya beli masyarakat Cina yang besar dalam sesi live shopping.
Perkembangan live shopping didukung dengan adanya pandemi COVID-19, khususnya saat masa karantina. Saat banyak orang tidak bisa pergi keluar untuk memenuhi kebutuhan hariannya, live shopping menjadi media belanja online yang dapat dipercaya. Dalam riset dari Karen Hao, live-streaming dari para petani menjadi populer saat pandemi, kemudian mengawali tren belanja bahan makanan melalui live shopping dan sukses menjadi kategori belanja live shopping nomor 1 pada masyarakat Cina.

Live shopping menjadi sangat terkenal di Asia karena fiturnya yang memberikan rasa aman mengenai akurasi produk dan efisiensi waktunya. Bahkan, perilaku konsumen masyarakat Asia Tenggara mulai cenderung untuk mencari live stream shopping untuk melakukan pembelian.
Dilansir dari Momentum Works, di tahun 2022 saja, Indonesia telah mencapai jumlah Gross Merchandise Volume (GMV) senilai $2.5 milyar untuk Tiktok. Mengikuti popularitas TikTok Live di Indonesia, Shopee Live turut meluncurkan fitur live shopping yang sama. Hingga saat ini, TikTok Live dan Shopee Live telah menjadi salah satu strategi marketing andalan di Indonesia.
Perekonomian negara Asia banyak mengandalkan industrialisasi dan perdagangan, sehingga tidak aneh bila live shopping menjadi fitur yang digemari di Cina dan Asia Tenggara. Bahkan, bisa diasumsikan bila di tahun 2026 nanti, live shopping akan menjadi bagian dari belanja online yang tidak dapat dipisahkan.
Kurang Diminati di Barat
Meskipun live shopping mengalami pertumbuhan yang pesat di Asia, negara bagian Barat tidak merasakan hal yang sama. Dilansir dari McKinsey, hanya terdapat 5 sampai 7 persen orang di negara Barat—khususnya Eropa, Amerika Latin, dan Amerika Serikat—yang menggunakan live shopping untuk berbelanja online.

Perbedaan yang mencolok ini tentunya menimbulkan pertanyaan. Kenapa pasar negara Barat terlihat tidak tertarik dengan pengalaman belanja online interaktif yang ditawarkan oleh fitur live shopping?
Audiens Western sudah sangat familiar dengan konsep live-streaming itu sendiri, namun mereka cenderung menganggap live-streaming sebagai hiburan. Ketika seseorang mencoba untuk menonton live-streaming, dengan harapan adanya hiburan di waktu luang, dihadapkan dengan sesi ulasan produk akan menjadi sangat tidak menarik untuk dilihat.
Dari sini, wajar bila segelintir audiens Western yang memang menggunakan fitur live shopping menganggap live shopping sebagai hiburan, sebagaimana yang disebut dalam riset McKinsey. Sangat berkebalikan dengan para audiens Cina yang memilih live shopping karena fungsi dan efektivitasnya.
Namun, kurangnya minat dari audiens Western terhadap live shopping bukan berarti tidak ada kesempatan untuk berkembang (meskipun nstagram Live Shopping harus menutup fiturnya yang baru berumur 3 tahun sejak dirilis karena kesulitan menarik minat pasar US). Setelah pandemi, pasar US sudah mulai familiar dengan konsep live shopping, namun hanya perlu sedikit waktu untuk mampu beradaptasi dan mengikuti perkembangan pasar Asia.
Live Shopping Jadi Strategi Marketing Ampuh
Live shopping telah terbukti menjadi terobosan baru dalam pemasaran media online. Banyak brand dan perusahaan yang turut mencoba marketing live shopping yang bermodal murah, namun tinggi potensi pendapatan. Meskipun live shopping bisa menghasilkan banyak konversi penjualan, namun tetap perlu diingat bahwa sebagai pemilik bisnis, membangun brand adalah wajib hukumnya. Jika kamu perlu bantuan untuk membangun brand impianmu—otomatis media sosialnya juga, Avond Studio bisa jadi partner diskusi yang pas tentang brand, marketing, dan desain.